Kamis, 18 Maret 2010

Memahami Bahasa Cinta
0 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 15:22



Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur ?
Ketika kita menangis ?
Ketika kita membayangkan ?
Itu karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT
Ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya SEJALAN dengan kita
kita bergabung dengannya dan jatuh kedalam suatu keanehan serupa yang
dinamakan CINTA
CINTA yang AGUNG
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan MASIH peduli terhadapnya
Adalah ketika dia tidak mampedulikanmu dan kamu MASIH menunggunya dengan setia
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata Aku turut berbahagia untukmu
Apabila cinta tidak berhasil BEBASKAN dirimu
Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas LAGI
Ingatlah bahwa kamu mungkin menemukan CINTA dan kehilangannya
Tapi ketika cinta itu mati kamu TIDAK perlu mati bersamanya
Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu menang MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Entah bagaimana dalam perjalanan kehidupan, kita belajar tentang diri kita sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada
penyesalan HANYALAH penghargaan abadi atas pilihan-pilihan kehidupan yang telah kita buat sendiri

MENCINTAI
BUKANLAH bagaimana kamu melupakan melainkan bagaimana kamu MEMAAFKAN
BUKANLAH bagaimana kamu mendengarkan melainkan bagaimana kamu MENGERTI
BUKANLAH apa yang kamu lihat melainkan apa yang kamu RASAKAN
BUKANLAH bagaimana kamu melepaskan melainkan bagaimana kamu
BERTAHAN Lebih berbahaya mencucurkan air mata dalam hati dibandingkan menangis tersedu-sedu Air mata yang keluar dapat dihapus
Sementara air mata yang tersembunyi menggoreskan luka yang tidak akan pernah hilang
Dalam urusan cinta, kita SANGAT JARANG menang
Tapi ketika CINTA itu TULUS,
meskipun kalah, kamu TETAP MENANG
hanya karena kamu berbahagia dapat mencintai seseorang
LEBIH dari kamu mencintai dirimu sendiri
Akan tiba saatnya dimana kamu harus berhenti mencintai seseorang
BUKAN karena orang itu berhenti mencintai kita,
MELAINKAN karena kita menyadari bahwa dia akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya
Apabila kamu benar-benar mencintai seseorang, jangan lepaskan dia
Jangan percaya bahwa melepaskan selalu berarti kamu benar-benar mencintai MELAINKAN BERJUANGLAH demi cintamu
Itulah CINTA SEJATI
Kadang kala orang yang kamu cintai adalah orang yang PALING menyakiti hatimu,
dan kadang kala teman yang menangis bersamamu adalah CINTA YANG TIDAK KAMU SADARI KEBERADAANNYA
Cinta selalu tak akan pernah bisa diungkapkan dengan apapun yang sesuai dengan kehendak kita karena bahasa cinta adalah bahasa yang abstrak, bahasa yang hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang peka dan mengenal apa itu cinta



Label: Cinta

Mengemas Rindu
0 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 10:25


Biasanya, para pencinta selalu mengemas rindu mereka. Pencinta untuk apa dan siapa saja, rindu yang bagaimana saja. Kerinduan, adalah sebuah harta milik kita yang sederhana, namun artinya tak lebih sempit dari luas samudera. Kerap membawa keinginan tak sekadar beredar di khayalan. Namun kekuatan tekad untuk menjadikannya nyata. Mengemas rindu, menjaga cinta.
Kerinduanku, adalah akan hadirnya cinta. Seperti milik nabi Ibrahim, saat akan menyembelih anaknya. Seperti milik Ismail, yang mempersembahkannya hanya untuk Tuhannya. Seperti milik Yusuf, yang tak tergoyahkan oleh Zulaikha. Seperti milik mereka, dan mereka yang lain yang juga pencinta.
Kerinduanku, adalah akan kekalnya cinta. Tak seperti mereka yang menjualnya lantas mengatakan bahwa itu adalah pengorbanan. Tak seperti mereka yang menjadikannya harta namun diam-diam merusaknya. Tak seperti mereka yang menginginkannya hadir namun tak peduli lantas meninggalkannya.
Biasanya, para pencinta tak pernah lupa mengemas rindu mereka. Sebab pintu hati selalu terbuka kapan saja tanpa bisa dipegang kuncinya. Karena kita tak kuasa. Sebab bila tidak, ia akan mudah tergantikan begitu saja. Tanpa tahu alasannya.
***
Sebagai manusia, seringkali kita korbankan waktu dan tenaga sia-sia, untuk mengemas rindu yang tak ketahuan adanya, yang bukan rindu sebenarnya. Kerinduan itu disimpan baik-baik dalam hati, tak ingin ia lekas pergi. Sebab bila kerinduan itu hilang, maka cinta yang selalu diharap itu tak pula datang.
Kerinduan akan tahta, mengantarkan kita untuk menghamba pada dunia. Tak pernah puas, walau sudah melibas semua yang tertindas.
Kerinduan akan harta, menyebabkan kita buta. Tak peduli mengambil punya siapa, yang penting diri tak menderita.
Kerinduan akan cinta manusia, membawakan sengsara. Sebab yang ada hanya kecewa, kalau cinta tak dibalas cinta.
Bagaimana dengan milik kita?
Kalau setiap harinya selalu kita memuja yang fana. Tanpa menyadari bahwa Ia ada, melihat apa yang tak kita lihat, mengetahui apa yang tersembunyi, menguasai seluruh isi hati.
Kalau setiap saat kita tak pernah lalai mempersembahkan cinta, bukan untuk-Nya, melainkan untuk sesuatu yang tak bisa memberikan apa-apa. Juga tak punya kuasa.
Kalau hidup ini kita persembahkan untuk melayani mereka yang tak bisa memberi. Kalau rindu itu kita persembahkan untuk sesuatu yang hanya bisa menyakiti.
Lalu, untuk siapa kita mengemas rindu? Pernahkah kita mengemas rindu ini untuk-Nya? Apakah kita selalu menjaga cinta ini agar selalu berlabuh pada-Nya? Sedangkan hati ini selalu penuh akan sesuatu, entah apa itu.
Lantas, rindu itu untuk siapa?



Label: Cinta

Halo Cinta!
0 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 08:08


'Cinta'... Seringkali ketika kata ini disebut, jiwa manusia pun bergetar, terbuai oleh perasaan deg-deg-an... seakan tersiram oleh keindahan cinta yang berbaur dengan keharuman minyak Yasmine. Orang yang dimabuk cinta seakan tak puas bila tak bermandikan air hujan kemesraan, disiram oleh tangan kasih sayang. Dan ia pun seakan terbang nun jauh diatas sana, menerobos awan yang tenang, melambai gemulai, indah dan bersiramkan wangian misik. Benar tidaknya... anda sendiri yang tahu...
Cinta memang sesuatu yang belum bisa saya mengerti, datang dengan tiba-tiba tanpa bersuara dan perginya pun secepat kilat tanpa kita ketahui... lenyap tanpa bekas, bahkan seringkali terganti dengan lawan dari cinta itu sendiri... yaitu benci.
Tapi muncul satu kekhawatiran yang sering dialami adalah jangan2 cinta itu hanyalah sekedar kedok dari "sesuatu" yang lain, sesuatu yang lebih laten dibandingkan dengan cinta itu sendiri.
Kalau sekedar untuk berdeklamasi, saya tentu akan menjawab dengan lantang, bahwa cintaku untuk Allah, untuk Rasulullah, para sahabat, orang tua, teman, dan seterusnya...dan seterusnya... demikian pula slogan-slogan yang ditempel atau dalam iklan misalnya... tidak mustahil bahwa semua ucapan, atau tingkah laku itu hanyalah kepalsuan belaka... ??!
Tetapi itu hanyalah sekedar slogan saja, yang untuk bisa membuktikannya perlu diuji lagi. Ibaratkan sebuah pedang... ia tidak langsung menjadi sebuah pedang yang tajam tanpa sebelumnya melalui sebuah proses yang tidak ringan. Sebuah proses dari sepotong besi biasa yang kemudian menjadi sebuah pedang yang bagus.
Tidak jarang untuk bisa merasakan cinta pada yang lain maka penyandaran dan berkedok dengan cinta pada Allah sering terlazimi. Tidak jarang dibalik kedok itu adalah karena lebih mencintai diri sendiri... mencintai ego yang ada.
Demi cinta kepada Allah... maka saya melakukan perintahnya...menjauhi larangannya... berusaha mengikuti Sunnah Rasul-Nya... berusaha dekat dan mengikuti kekasih2-Nya... dll. Tetapi ternyata itu hanyalah sebuah kedok bahwa saya jauh lebih besar mencintai diri sendiri.
Karena ego ini masih lebih mengutamakan nikmatnya materi, nikmatnya pujian, nikmatnya penghargaan, nikmatnya kehormatan, nikmatnya harga diri, nikmatnya pahala, nikmatnya berkelompok apalagi yang merasa paling benar, bahkan terobsesi dengan nikmatnya surga yang dijanjikan... dan disamping ego tersebut masih belum bisa menerima kepahitan-kepahitan. Baik itu jasmani maupun rohani. Saya masih melayang diantara hitam-putih, panas-dingin, baik-buruk, benar-salah, senang-susah, pujian-makian. Sesuatu yang sangat relatif tetapi punya tendensi ke arah tertentu.
Sampai suatu saat saya men-scan kembali perasaan saya mengenai cinta... ketika secara nggak sengaja saya dengar pembicaraan orang yang kira-kira begini: "Cinta akan lebih bisa terpahami jika tidak bersandar dengan "karena" tapi bersandar dengan "walaupun".
Anda nggak faham yach...? samma
Mau pake rumus...?,
Misalkan... Selama ini dengan kedok cinta, saya mencintai A "KARENA" c,d,e,f,g… (sesuatu yang sangat logis). Tapi masalahnya sekarang, kalau c,d,e,f,g-nya berkurang tidak mustahil cinta saya pada A bukan sekedar tereduksi lagi, akan tetapi mungkin akan habis dan tinggal kedoknya saja, karena ego saya yang menginginkan c,d,e,f,g-nya bukan karena A-nya itu.
Tetapi sebaliknya... Dengan berkedok cinta, saya mencintai A "WALAUPUN" v,w,x,y,z dst ..(mungkin terkadang nggak masuk akal). Akan tetapi, meskipun ada faktor v,w,x,y,z dst... tapi disini kita harapkan mudah2an cintanya semakin menyala dan kedoknya semakin menghilang.
Saya hanya sedikit teringat, suatu kisah seorang sufi yang mengatakan bahwa beliau 'mimpi seakan-akan berada di hadapan Allah' kemudian Allah berkata:
(dalam bahasa yang lebih sederhana) ........
Ketika AKU baru menciptakan manusia, mereka semua mengaku cinta kepada-KU.
Kemudian KU-ciptakan dunia, sebagian besar berpaling ke dunia lari meninggalkan-KU, hanya sedikit yang tetap mencintai-KU
Kemudian KU-ciptakan Surga, sebagian besar dari yang sedikit itu berpaling padanya, dan tinggal sedikit dari yang sedikit tetap mencintai-KU
Kemudian KU-ciptakan Neraka, sebagian besar dari yang sedikit dari yang sedikit tadi lari meninggalkan-KU karena takut padanya, maka tinggallah sedikit dari yang sedikit dari yang sedikit tetap cintanya kepada-KU.
Pada yang sedikit dari yang sedikit dari yang sedikit itu KU-timpakan ujian, Sebagian besar dari yang sedikit dari yang sedikit dari yang sedikit itu tidak tahan dan mengeluh, hingga hanya tinggallah sedikit dari yang sedikit dari yang sedikit dari yang sedikit tadi masih tetap cintanya kepada-KU.
Kepada yang tersisa itu AKU katakan... "Kalian tidak menginginkan dunia, tidak mengharapkan surga, tidak lari dari neraka, dan tidak mengeluh dari ujian, lalu apa yang kalian inginkan...?"
"Engkau lebih mengetahui apa yang kami inginkan, jawab mereka."
"AKU akan memberikan cobaan yang berat pada kalian, sebanyak napas kalian; bahkan gunung yang kokoh sekalipun tidak akan sanggup menanggungnya, apakah kalian akan tetap bersabar...?"
"Jika KAU yang menurunkan cobaan itu, kami siap menerimanya."
Kata Allah... "Kalian adalah hamba-hamba-KU yang sejati. Kalian adalah pecinta-KU yang sidiq. Aku akan beri kalian dunia dan surga. Aku akan menyingkirkan segala bencana dari kalian."
Mereka yang tersisa itu-lah hamba-KU.
---o0o---
Alhamdulillah... Allah Maha Pemurah, jika tidak karena ada cinta-Nya mustahil kita akan mampu bertahan dengan segala ujian dari-Nya.
"Saudaraku, jika kau mendoakan aku, doakanlah agar Allah menjadikan aku sebagai salah seorang kecintaan-Nya. Sebab, hanya karena cinta dan ridho-Nya lah maka kita bisa mencium bau syurga-Nya"



Label: Cinta

Ketika Cinta Berbalas
0 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 08:03


Saya masih ingat ada seorang sahabat yang menulis artikel dengan judul "Cinta tak terbalas". Ya, jika udah bicara tentang "CINTA", tidak akan pernah ada kata akhirnya, karena CINTA adalah anugerah yang indah sekaligus bikin gelisah.
Cinta tak/belum terbalas mungkin menyakitkan .. bikin penasaran … sekaligus berbunga angan-angan, "andaikan dia mau sama aku..", "apa dia tahu perasaanku ya ?". Mau tidak mau, kita dipaksa untuk mengakui dengan jujur…. , tiap hari pertanyaan serupa itu selalu muncul berganti-ganti.
Bila si dia menunjukkan respon ke arah "sana", hati kita langsung "kling-kling" bersinar cemerlang, serasa hanya kita yang diperhatikan .. "o, ternyata benar .. dia juga punya perasaan sama", "tuh, hanya aku yang dapat perhatian seperti itu…bla bla..bla ". Lagi, kalau si dia yang bikin kita kebat-kebit cuek dalam satu hari, hati tanpa dikomando bilang "tuh, aku mah ge-er aja… ", "ah, ternyata dia nggak suka ma aku". Lingkaran ini akan selalu berputar tak berkesudahan bila kita tidak bertanya langsung kepada si dia (karena takut resikonya ditolak).
Setuju sekali dengan pendapat sang ukthi, betapa naifnya hanya karena cinta pada satu orang, kita melupakan cinta dari orang-orang yang telah memberikan cinta sejatinya dari orang tua, saudara, sahabat, guru-guru, dll.
Nah, sekarang bagaimana kalau CINTA BERBALAS? Apakah memang seperti gambaran orang-orang yang patah hati karena cinta mereka bertepuk sebelah tangan? Cinta yang berbalas itu indah dan membahagiakan?
Cinta. Anugerah terindah itu pasti akan pernah mampir kepada manusia, makhluk ciptaan-Nya yang dilengkapi akal dan perasaan. Kita juga tidak pernah berencana untuk mencintai seseorang. Cinta itu datang tak terduga, mengalir begitu saja dan paling parah.. sukar untuk menghentikannya.! Di saat, virus merah jambu itu datang pada kita… dan bluss !! ternyata… CINTA ITU BERBALAS! Benar-benar indahkah? Membahagiakan kah?
Ternyata dari beberapa hasil survey, didapat kesimpulan "Cinta yang berbalas juga tidak selamanya sesuai harapan". ILMU, yang dilengkapi oleh kejujuran hati nurani yang dititipkan oleh SANG PEMILIK CINTA membuat kita gelisah : takut zina hati sekaligus menikmati gejolak perasaan yang bervariasi.
Hari-hari dipenuhi keraguan.. di saat kita gembira bertemu dengan "dia", di saat itu pula rasa "takut" hadir, di saat kita merindukannya, di saat itu pula kita merasa malu karena kita jarang mengingat pemiliknya, Ar-Rahman. Pergulatan batin akan jadi sangat melelahkan jika kita tidak berusaha untuk "mempertahankan" diri sekuatnya.
Okelah, bagi yang sudah punya kemampuan dan keinginan untuk menikah dalam restu orang tua, mereka punya solusi : SEGERA MENIKAH! Berbahagialah bagi sahabat-sahabat yang berada dalam atmosfir seperti ini.
Nah, bagi yang belum punya kemampuan? atau yang jatuh cinta pada yang nggak seakidah, atau yang belum direstui orang tua untuk segera menikah, atau lagi, yang jatuh cinta pada tunangan, suami atau isteri orang lain? Wah.. wah.. ini nih UJIAN BERAT!, bukan berarti Allah nggak sayang sama kita, memberi anugerah sekaligus cobaan, tapi justru kita adalah orang-orang yang terpilih untuk membuktikan kesungguhan cinta kepada-Nya. Lalu? Haruskah kita hanyut dan terlena dengan cinta yang sesaat ini?
Ayo sobat ! Cinta sesungguhnya terbingkai dalam mahligai pernikahan. Dalam bingkai itulah kita benar-benar berhak mengekspresikan seluruh perasaan cinta yang ada… untuk meraih cinta-Nya yang Agung. Lamar atau minta dilamar, hanya itu pilihan.
Jangan terjebak CINTA SEMU !! Jika nama "dia" hadir tanpa diundang, segera ganti dengan istighfar dan sibukkan diri dengan aktifitas yang membutuhkan konsentrasi. Berhati-hatilah dengan hati yang melambung tinggi karena akan sangat sakit bila terhempas.
Tulisan ini hanya sekedar wacana untuk sama-sama jadi renungan. Mudah-mudahan kita bisa menikmati CINTA yang dianugerahkan-Nya dengan rasa syukur yang dalam, membuat kita makin mencintai-Nya dalam setiap hembusan nafas, berusaha mempertahankan zikrullah agar tidak berganti dengan nama si "dia".
Mari nikmati CINTA hanya untuk mengharap balasan cinta dari Sang Pemilik Cinta, karena hanya Dia yang tidak pernah mengecewakan kita.



Label: Cinta

Cinta Berpijak pada Perasaan Sekaligus Akal Sehat
1 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 07:54


Miskonsepsi pertama yang ditentang Bowman adalah manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan belaka. Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan untuk juga menggunakan akal sehat.
Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa mengelak. Yang sesungguhnya terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi tradisi, kebiasaan, standar, gagasan, dan ideal kelompok dari mana kita berasal.
Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa saja saat jatuh cinta, dan tidak bisa dimintai pertanggunganjawab bila perbuatan-perbuatan impulsif itu berakibat buruk suatu ketika nanti. Kehilangan perspektif bukanlah pertanda kita jatuh cinta, melainkan sinyal kebodohan.
Cinta membutuhkan proses !!! Bowman juga menolak anggapan cinta bisa berasal dari pandangan pertama. Cinta itu tumbuh dan berkembang dan merupakan emosi yang kompleks, katanya. Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan waktu.
Jadi memang tidak mungkin kita mencintai seseorang yang tidak ketahuan asal-usulnya dengan begitu saja. Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua individu telah berhasil melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk memilih orang lain sebagai titik fokus baru.
Yang mungkin terjadi dalam fenomena cinta pada pandangan pertama adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang sangat kuat-bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda.
Dalam kasus cinta pada pandangan pertama, banyak orang tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan orang yang benar-benar mencinta. Mereka mencintai pasangan sebagai persolinatas yang utuh.
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi.
Bukan cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol pasangan. Juga bukan cinta bila kita bersedia mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang mencinta tidak menganggap kekasih sebagai atasan atau bawahan, tapi sebagai pasangan untuk berbagi, juga untuk mengidentifikasi diri.
Bila kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi pergaulannya, melarangnya beraktivitas positif, mengatur seleranya berbusana) atau melulu mengalah (tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak keberatan dinomorsekiankan), berarti kita belum siap memberi dan menerima cinta.
Cinta itu konstruktif.
Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan) pasangan. Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif, dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif, dia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap masalahsehari-hari. Yang dipikirkan hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun tak mungkin tercapai. Bahkan impian itu bisa menjadi subsitusi kenyataan.
Cinta tidak melenyapkan semua masalah.
Penganut faham romantik percaya cinta bisa mengatasi masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala penyakit (panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain diyakini bisa diatasi dengan berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta tidaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa membuat sepasang kekasih berani menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun mungkin didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang tengah mabuk kepayang-berarti tidak benar-benar mencinta-cenderung membutakan mata saat tercegat masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia mengenyampingkan problem.
Cinta cenderung konstan.
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga bila grafik perasaan kita pada kekasih turun naik sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa kekasih lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara realistis. Lantas saat kembali bersama, kita memandang kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah segala bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila kita merasa kekasih hebat saat kita berdekatan dengannya dan tidak lagi merasakan hal yang sama saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat bila saat dekat dan jauh dari pasangan, kita menyukainya dalam kadar sebanding.
Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik.
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi bahaya bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan membencinya untuk banyak factor lainnya. Saat jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna penting bagi setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya terasa menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai personalitas masing-masing. Maka bukan cinta namanya, melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna apa-apa. Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik sedari permulaan.
Cinta tidak buta, tapi menerima.
Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena besarnya cinta, dia berusaha menerima dan mentolerir. Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh ada kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta. Meski pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan dengan penuh nafsu menerima tanpa keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya secuil keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.
Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan.
Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan perkembangan hubungan dengan kekasih. Dia menghindari segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat, mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang sedang tergila-gila mungkin saja berusaha keras menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga tercapailah kepuasan yang diincar. Orang yang mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.
Cinta berani melakukan hal menyakitkan.
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian, keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi kebaikan. Seperti seorang ibu yang berkata tidak saat anaknya minta es krim, padahal sedang flu.
Begitulah kita semua seharusnya bersikap pada pasangan.



Label: Cinta

Mencintai Pekerjaan
0 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 15:33


Konon pada tahun 1998 Wall Street Journal pernah membuka polling untuk menjaring pendapat umum tentang bagaimana orang menerima pekerjaan atau profesi yang saat ini dimiliki. Hasilnya, lebih dari 50 % responden menyatakan akan meninggalkan pekerjaan yang saat ini di tangan apabila (andaikan saja) mereka memiliki kesempatan untuk pindah atau ada peluang untuk ganti pekerjaan / profesi (Warshaw: 1998).
Hasil polling ini meskipun belum tentu mutlak benar atau mungkin belum mewakili pekerja secara keseluruhan, tetapi oleh beberapa pakar pengembangan karir dijadikan petunjuk untuk bahwa ternyata banyak sekali orang yang tidak mencintai apa yang dilakukan, tidak mencintai profesi atau pekerjaan yang saat ini dimiliki. Bagaimana kalau polling itu diadakan di sini?
Kalau kita menggunakan indikator umum (logika matematis) angkanya bisa jadi bertambah. Mengapa? Di negara yang sudah punya kemampuan lebih bagus dari kita dalam melayani kepentingan publik saja masih ditemukan kenyataan seperti itu, apalagi di kita …? Tetapi logika matematis itu bisa jadi patah di lapangan kalau kita bicara urusan perasaan atau kalau kita menggunakan indikator khusus yang disebut paradoks kemajuan.
Contoh dari paradok itu misalnya saja belum tentu kalau orang yang punya banyak uang itu lebih bahagia dengan orang yang punya uang sedikit, meskipun kalau kita tidak memiliki uang, kebahagian itu juga terancam. Belum tentu juga orang yang hidup di negara maju bisa dipastikan lebih bahagia dengan orang yang hidup di negara berkembang.
Terlepas dari sejumlah kemungkinan itu, namun ada yang masih bisa kita pastikan bahwa baik di Amerika dan di Indonesia, tetap akan ada sekelompok orang yang merasa tidak bahagia atau tidak sanggup mencintai pekerjaan atau profesi yang digeluti saat ini. Padahal baik secara filosofis keduanya dapat dikatakan, bahwa mencintai pekerjaan adalah kekuatan utama untuk meraih prestasi di bidang yang sudah kita pilih saat ini atau nanti.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh Doris Lee McCoy, Ph.D penulis buku “Mega Traits for Successful People” (Career Life Institute: 1994) terhadap 1000 orang Amerika yang berprestasi tinggi di bidangnya, ternyata urusan mencintai pekerjaan ini menduduki urutan pertama, yang membedakan antara mereka dengan kebanyakan orang di lingkungannya. Secara keseluruhan, mereka yang berprestasi tinggi itu menikmati apa yang dilakukan (enjoy their work) dengan sepenuh hati (total involvement).
Meskipun wawancara itu dilaksanakan di Amerika, tetapi karena ini urusan prinsip yang berlaku secara universal, maka hampir bisa dipastikan akan tidak jauh berbeda andaikan saja wawancara itu dilakukan terhadap sejumlah orang Indonesia yang berprestasi. Di samping itu, tanpa wawancara pun sebetulnya naluri kita sudah bisa berbicara bahwa yang namanya cinta pekerjaan, cinta profesi atau ke-sepenuhan-hati itu nampaknya sudah menjadi semacam “kemutlakan”
Jika semuanya sudah kita ketahui bersama namun pada prakteknya pengetahuan itu masih kurang sakti menolong kita untuk bisa mencintai pekerjaan yang kita tekuni, lantas apa yang menyebabkan? Di sinilah nampaknya kita perlu sedikit membahas tentang bagaimana rasa tidak bahagia dan rasa tidak cinta ini berproses di dalam diri kita.
Logika Telur Ayam
Mana yang benar menurut praktek hidup antara kita menyatakan bahwa “kalau saya mendapatkan pekerjaan yang saya cintai maka saya akan mencintai pekerjaan itu” ATAU “kalau saya mencintai pekerjaan yang ada saat ini maka cinta itu akan mengantarkan saya untuk mendapatkan pekerjaan yang saya cintai…?” Inilah yang kira-kira saya maksudkan logika telor-ayam di sini.
Pernyataan pertama bisa jadi benar karena untuk orang tertentu dalam keadaan tertentu dengan alasan tertentu dan tujuan tertentu, mendapatkan pekerjaan yang dicintai memang cukup mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mencintai pekerjaan. Tetapi ya itu tadi: hanya berlaku untuk keadaan yang sifatnya sangat terbatas (baca: pengecualian)
Kalau kita merujuk pada hasil temuan sejumlah pakar yang dikutip dalam catatan ERIC Clearinghouse on Adult Career and Vocational Education (Columbus OH: 2002), akan kita dapatkan bahwa cinta dan tidak cinta pekerjaan (di luar batasan tertentu itu), lebih banyak disebabkan oleh apa yang terjadi di dalam diri (What is happening IN us), bukan tergantung pada apa yang menimpa kita (What is happening ON us), terlepas dari perbedan istilah tehnis yang mereka gunakan.
Studi ilmiah membuktikan, bahwa penyabab utama mengapa kita tidak sanggup mencintai pekerjaan adalah konflik diri. Ini bukan masalah ada gejolak dan tidak ada gejolak, sebab tidak mungkin orang hidup tanpa gejolak. Dari mana konflik-diri ini muncul? Masih merujuk pada hasil temuan yang sama, konflik diri ini dimunculkan oleh mandeknya roda pengembangan diri (developmental process factors). Kalau kita berhenti mengembangkan diri kita, entah itu melalui pekerjaan atau pendidikan, maka cepat atau lambat kita akan diterpa oleh konflik diri, seiring dengan bertambahnya kebutuhan dan keinginan kita.
Lantas, mengapa kita mandek? Bicara maunya kita, mungkin tidak ada orang yang menghendaki kemandekan. Pasti semua orang ingin maju, dinamis, proaktif, dan progresif. Jika dalam prakteknya kemandekan itu terjadi, lantas apa yang menjadi akar penyebabnya? Ajaran agama menunjukkan kita bahwa kemandekan ini disebabkan oleh kesalahan dalam memilih ke mana penglihatan pikiran ini kita fokuskan.
Kalau kita mengarahkan penglihatan ini pada hal-hal yang berbau “kurang” tentang diri kita maka kesimpulan yang tercetak di kepala kita adalah kesimpulan minus tentang kita. Kesimpulan minus ini akan kita jadikan alat untuk melihat sesuatu di luar diri kita termasuk pekerjaan. Penglihatan kita tidak bisa melihat selain apa yang sudah dipahami oleh pikiran kita. Nah, kalau terhadap diri kita saja pikiran ini sudah punya kesimpulan minus, maka apalagi terhadap pekerjaan? Inilah kira-kira kalau diuraikan urut-urutannya secara sekilas.
Alasan lain yang juga mendukung pendapat para pakar itu, adalah logika kita bersama. Katakanlah bahwa hari ini kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai, tetapi kalau roda dinamika di dalam diri kita berhenti, maka cepat atau lambat pekerjaan itu akan hilang keindahannya di mata kita. Sebab, pasti di dalam pekerjaan yang kita cintai pun akan tetap ada bagian yang tidak kita cintai dan ini hanya bisa diharmoniskan oleh usaha pengembangan diri dalam hal kemampuan menyelesaikan masalah yang muncul (problem solving skill).
Alasan lain adalah fakta alamiah. Andaikan dunia ini selalu tunduk pada rencana kita, tentu saja perdebatan telor-ayam di atas akan gugur. Semua orang sudah pasti menginginkan agar kita didatangi lebih dulu oleh sesuatu yang kita cintai. Hanya saja praktek hidup tak selamanya tunduk pada rencana kita dan seringkali memberikan kita sebuah tawaran memilih yang kira-kira kalau dikalimatkan akan berbunyi: Apa yang akan anda pilih ketika anda tidak mendapatkan secara utuh apa yang anda inginkan?
Pembelajaran
Will Rogers pernah mengatakan: “walaupun anda saat ini sudah berada di jalur yang benar tetapi kalau yang anda lakukan hanya diam saja, maka perubahan akan membawa anda ke tempat yang tidak aman.” Pendapat ini bisa kita jadikan petunjuk bahwa terlepas apakah kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai atau tidak, tetapi kalau dinamika kita mandek, perubahan akan membawa kita pada konflik-diri.
Pembelajaran yang mungkin kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita dari kemandekan (stagnasi) adalah menyusun Tangga Dinamika yang sesuai dengan ukuran diri kita dengan melakukan gerakan berikut ini:
1. Menaikkan Keinginan
Kalau dulu kita pernah punya keinginan untuk menjadi karyawan atau keinginan untuk memiliki sesuatu – katakanlah begitu – dan hari ini keinginan itu sudah kita wujudkan, maka kita perlu menaikkan lagi standar keinginan itu ke tingkat yang lebih atas yang kira-kira secara rasional bisa kita capai, misalnya saja menjadi supervisor atau manajer, supaya kemandekan tidak mudah menguasai kita. Keinginan pada dasarnya adalah motivasi penggerak yang mendorong niat kita untuk berprestasi.
Tetapi yang perlu kita catat, adalah pentingnya kesadaran untuk membuat manajemen aktivitas yang diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, baik jangka pendek (dan rutin) maupun jangka panjang – serta aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
2. Menaikkan Pengetahuan
Mungkin kalau sekedar menaikkan keinginan untuk menjadi atau untuk memiliki ini mudah dan sudah dilakukan oleh hampir semua orang. Tetapi yang tidak dilakukan oleh hampir semua orang atau bahkan hanya dilakukan oleh sedikit orang adalah berusaha mencari pengetahuan yang cocok untuk digunakan sebagai alat mewujudkan keinginan itu.
Merujuk pada hasil temuan Aristotle, formula untuk berprestasi itu ada dua yaitu: rumusan tujuan yang jelas tentang apa yang kita inginkan untuk menjadi atau memiliki, dan yang kedua, menemukan metode yang cocok. Metode ini banyak dan salah satunya adalah ilmu pengetahuan yang tepat untuk keadaan diri kita.
Fungsi pengetahuan bagi keinginan kita adalah memberikan lebih banyak pilihan strategi dalam mewujudkan keinginan yang tidak hanya itu-itu saja. Selain itu, fungsi lain yang dimainkan oleh bertambahnya pengetahuan di kepala kita adalah memperbaruhi diri kita. Seperti kata Atkin, Ilmu pengetahuan yang kita dapatkan tidak saja membuat kita memiliki pengetahuan tetapi juga memperbaruhi definisi kita tentang diri kita.
3. Menaikkan Kemampuan
Sudah pasti akan ada gap (jurang pemisah) antara keinginan ideal dan kemampuan faktual kita dan sudah pasti akan ada gap antara pengetahuan yang baru kita dapatkan dengan kenyataan yang kita hadapi di bidang kita. Gap ini menawarkan pilihan antara: apakah kita akan menggunakan gap itu untuk mencerahkan diri kita atau kita akan menggunakan gap itu untuk “menggelapkan” diri kita.



Label: Cinta

Ada Apa Dengan Cinta ?
3 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 08:27


Ada Apa dengan Cinta?

Tanggal 14 Februari lalu, banyak orang "merayakan"-nya sebagai Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Hari (special ?) ini, tentunya, lebih banyak dirayakan dengan menggebu-gebu oleh (pasangan) remaja yang sedang kasmaran. Pada hari itulah para remaja masing-masing mengungkapkan perasaan sayang atau cintanya kepada pasangannya. Begitu indah. Seperti diketahui, sudah banyak lagu digubah, puisi ditulis, dan kanvas dilukis untuk menggambarkan cinta. Tentunya seorang pelukis akan berbeda dengan seorang pencipta lagu dalam menjelaskan cinta. Bahkan setiap orang akan mendifinisikan cinta dengan cara yang berbeda. Sah-sah saja. Diluar dari pada itu , apakah cinta itu sebenarnya? Ada apa dengan cinta?
APA itu cinta? "Ada apa dengan cinta?", begitu "ujar" film yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia, sudah lama tertarik dengan konsep cinta (misalnya Eric Fromm, Maslow) karena manusia satu-satunya mahluk, konon, yang dapat merasakan cinta. Hanya saja masalahnya, sebagai sebuah konsep, cinta sedemikian abstraknya sehingga sulit untuk didekati secara ilmiah. Dalam ini dipilih teori seorang psikolog, Robert Sternberg, yang telah berusaha untuk menjabarkan cinta dalam konteks hubungan antara dua orang.
Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari "skenario" yang sudah dikenalnya, apakah dari orangtua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.
Sternberg terkenal dengan teorinya tentang "segitiga cinta" (bukan cinta segitiga, red). Segitiga cinta itu mengandung komponen (1) keintiman atau intimacy, (2) gairah ataau passion, dan (3) komitmen.
Keintiman adalah elemen emosi, yang di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu, dan ada keinginan untuk bergandengan tangan atau saling merangkul bahu. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama.
Menurut Strenberg, setiap komponen itu pada setiap orang berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga komponen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar, (dalam beberapa budaya) disertai dengan komitmen yang lebih besar. Misalnya melalui perkawinan.
Cinta dalam sebuah hubungan ini tidak selalu berada dalam konteks pacaran atau perkawinan. Pola-pola proporsi ketiga komponen ini dapat membentuk berbagai macam tipe hubungan seperti terlihat dalam tabel berikut.
Pola Hubungan
Pada remaja, diharapkan mereka mulai mengenali cinta melalui hubungan yang mengandung komponen keintiman. Mulai dari tahap perkenalan, lalu menjadi teman akrab, lalu sahabat. Pada tahap persahabatan, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis kelamin, diharapkan berkembang perasaan hangat, kedekatan dan emosi-emosi lain yang lebih kaya. Dalam hubungan antarjenis, persahabatan dapat berkembang dengan komitmen pacaran. Pada tahap pacaran ini keintiman dapat muncul komponen gairah dengan proporsi yang relatif rendah.
Pada pasangan yang telah dewasa, bila faktor-faktor emosional dan sosial telah dinilai siap, maka hubungan itu dapat dilanjutkan dengan membuat komitmen perkawinan. Dalam perkawinan, diharapkan ketiga komponen ini tetap hadir dan sama kuatnya.
Pada budaya tertentu, komitmen dianggap sebagai kekuatan utama dalam perkawinan. Karena itu banyak perkawinan -- dalam budaya tersebut -- yang hanya dilandasi oleh komitmen masing-masing pihak pada lembaga perkawinan itu sendiri. Perkawinan dipandang sebagai keharusan budaya dan agama untuk melanjutkan keturunan, atau karena usia, atau untuk meningkatkan status, atau sebab-sebab lain. Perkawinan seperti ini akan terasa kering karena suami maupun istri hanya menjalankan kewajibannya saja.
Variasi lain, perkawinan hanya dianggap sebagai lembaga yang mensahkan hubungan seksual. Perkawinan semacam ini kehilangan sifat persahabatannya, yang ditandai dengan tidak adanya kemesraan suami istri, seperti makan bersama, berbincang-bincang, saling berpelukan dan sebagainya.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pola hubungan cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orangtuanya saling mengekspresikan perasaan cinta mereka (atau malah bertengkar melulu), hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah romantis sampai yang horor, dan seterusnya, akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Karenanya, setiap orang disarankan untuk menyadari kisah cinta yang ditulis untuk dirinya sendiri dengan pertanyaan, misalnya, "Seperti apakah cinta menurut kamu?" Memang teori Strenberg tentang cinta ini belumlah lengkap dan memuaskan semua orang. Misalnya, bagaimana teori ini dapat menjelaskan cinta ibu terhadap anaknya? Atau bagaimana cinta dapat dipertentangkan dengan perang dan kebencian? Hanya saja, sebagai sebuah deskripsi ilmiah terhadap fenomena cinta, teori ini dapat dikatakan cukup membantu dalam memetakan pola-pola hubungan cinta antar individu. Apa komentar Anda?



Label: Cinta

Tertarik, Suka, Atau Cinta ?
0 komentar Dikirimkan oleh Hermanto di 15:34



Riset membuktikan, rasa cinta lebih menjamin kelanggengan hubungan daripada rasa suka. Pertimbangkan kembali jika Anda ingin membangun rumah tangga bahagia jika bekalnya hanya rasa suka, apalagi sekadar tertarik.
Banyak orang kagum ketika Bella Shafira menyanyi dihadapan masyarakat Indonesia di Amerika belum lama ini. Banyak yang minta foto bersama, memeluk, mencium, memberi hadiah, bahkan kado spesial, dengan ungkapan romantis. Emosi apa yang menghinggapi para penonton itu? Tertarik, suka, atau cinta?
Apa yang terjadi pada penonton Bella Shafira di Amerika itu merupakan emosi sesaat yang terjadi karena penampilan Bella. Ekspresi penonton yang bervariasi saat itu didasari perasaan tertarik yang juga bervariasi: dari yang cukup tertarik hingga yang amat sangat tertarik.
Yang cukup tertarik, tampaknya puas dengan foto bersama; yang sangat tertarik mungkin baru puas setelah memeluk atau mencium; dan yang amat sangat tertarik dengan perasaan khusus itulah yang mengekspresikannya dengan kado spesial. Mungkin ada juga yang memiliki ketertarikan amat sangat kuat, tetapi tidak merasa perlu mengungkapkannya atau tidak punya uang untuk membeli kado.
Seorang penonton pria memberikan kado spesial disertai pesan sangat romantis, yang membuat Bella tersipu-sipu menceritakannya. Kalau seperti itu, bukankah tidak lagi ketertarikan biasa?
Lalu, apakah ekspresi emosi pria itu dapat dikatakan sebagai cinta? Bagaimana bila disebut suka? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mungkin juga muncul dalam konteks hubungan yang kita alami.
Lanjut atau Bubaran?
Kadang-kadang cukup membingungkan untuk memastikan kelanjutan hubungan erat dengan lawan jenis. Sambil menghitung kancing baju mungkin ada yang berhitung: “Jadian... tidak... jadian... tidak.. jadian..
Kancing selesai dihitung, ternyata masih juga tidak yakin sebenarnya apa yang bergolak dalam perasaannya sendiri, apalagi mengenali perasaan pihak lain. Sementara beberapa orang lain yang sudah berpacaran sekian lama masih ada juga yang bingung dan berhitung, “Lanjut... bubaran.. lanjut... bubaran. ..“, karena hubungan berkembang sangat erat, tetapi merasa kurang romantis.
Kekaburan dalam menilai perasaan terhadap orang lain, khususnya bila keputusan itu menjadi dasar untuk mengambil keputusan berpacaran atau menikah, mengandung risiko yang mengancam kelanggengan hubungan.
Penelitian yang dilakukan di Boston Amerika (Hill dkk., dalam Deaux dkk., 1993) dalam rentang waktu dua tahun terhadap 231 pasangan, menemukan bahwa rasa suka saja kurang menjamin kelanggengan hubungan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rubin (dalam Deaux dkk, 1993) yang menunjukkan bawa rasa cinta lebih menjamin kelanggengan hubungan daripada rasa suka.
Baiklah, kita mencoba memahami perbedaan antara tertarik, suka, dan cinta.
Ketertarikan
Ketertarikan (dalam hubungan interpersonal) merupakan perihal seseorang terdorong untuk menjalin relasi dengan seseorang yang lain, disertai emosi yang positif.
Seberapa kuatnya ketertarikan seseorang terhadap seseorang yang lain, dapat menjadi ukuran seberapa kuatnya keinginan orang tersebut untuk mengembangkan hubungan dengan orang yang membuatnya tertarik.
Dengan contoh yang dialami Bella Shafira di atas tampak jelas, bagaimana kuatnya ketertarikan itu menentukan ekspresi pengembangan hubungan. Semakin tertarik, semakin kuat ekspresi emosinya.
Ketertarikan merupakan dasar yang menentukan pengembangan hubungan lebih lanjut. Hubungan yang berkembang lebih lanjut antara dua orang terjadi karena ada ketertarikan secara timbal balik. Hubungan berkembang menjadi lebih erat, baik menjadi persahabatan atau percintaan merupakan konsekuensi lebih lanjut bila terdapat ketertarikan timbal balik antara dua orang.
Dengan kata lain, ketertarikan awal dapat dialami oleh siapa saja. Namun, pengembangan hubungan lebih lanjut tergantung apakah ketertarikan awal itu terus berkembang dan bersambut.
Antara Suka dan Cinta
Apabila hubungan telah berkembang lebih lanjut menjadi hubungan timbal balik yang sangat erat, khususnya dalam hubungan antar lawan jenis, kadang-kadang menjadi sulit untuk dibedakan emosinya: suka atau cinta? Rasa suka lebih mendorong hubungan ke arah persahabatan, sedangkan rasa cinta tentunya lebih mendorong hubungan ke arah percintaan.
Deaux dkk. dalam bukunya Social Psychology in the ‘90s telah menuliskan perbedaan antara suka dan cinta ini secara panjang lebar. Salah satu urasannya menjelaskan bahwa hampir semua orang yakin bahwa cinta itu berbeda dengan persahabatan.
Cinta romantis berkembang lebih cepat daripada persahabatan. Meski demikian, cinta romantis tampaknya lebih mudah retak daripada persahabatan, dan lebih dapat berakibat negatif, misalnya frustrasi.
Merawat merupakan dasar konsepsi dari cinta. Dalam hubungan percintaan, perilaku sering lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap minat-minat pasangan dan minat-minat diri sendiri. Kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan diri sendiri tampaknya lebih merupakan ciri ketertarikan sepintas lalu daripada hubungan percintaan yang serius.
Untuk membedakan antara suka dan cinta, dapat digunakan suatu skala (berupa kuesioner) untuk menguji perasaan kita terhadap seseorang. Seoranig psikolog sosial, Zick Rubin, telah mengidentifikasi perbedaan dua jenis emosi tersebut. Ia mengembangkannya menjadi dua kuesioner, masing-masing untuk mengukur kondisi suka dan cinta.
Menurut Rubin:
Suka terutama lebih didasarkan pada afeksi (rasa sayang) dan respek. Untuk mengetahui tingkat rasa suka seseorang, butir-butir pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner dikaitkan dengan pendapat tentang kualitas positif seorang teman dan kebutuhan untuk menjadi sama dengan teman tersebut.
Cinta bersandar pada keintiman, kelekatan, dan peduli terhadap kesejahteraan pihak lain. Butir-butir pertanyaan dalam kuesioner cinta berkaitan dengan kesedihan bila orang yang dicintai tidak ada, pemaafan terhadap kesalahan, dan tingginya tingkat keterbukaan diri terhadap orang yang dicintai.
Khusus mengenal percintaan, beberapa tokoh dalam psikologi sosial berpandangan bahwa cinta dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.
Contohnya ada pandangan bahwa cinta dapat dibedakan menjadi dua jenis: passionate (romantis) dan companionate.
Cinta passionate merupakan pengalaman emosional yang mendalam: luar biasa gembira, jika berbalas, dan sangat menderita bila tak berbalas.
Cinta companionate merupakan bentuk cinta yang lebih familiar, yang didefinisikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang memiliki jalinan mendalam dengan diri kita, merefleksikan hubungan jangka panjang, dan kemungkinan merupakan tahap lanjut dari cinta romantis.
Teori Sternberg
Di samping penjelasan di atas, ada cara yang lain untuk menjelaskan ke arah mana sebuah hubungan percintaan berkembang, yaitu dengan teori segitiga cinta dari Robert Sternberg.
Sternbeng (1986) mencirikan cinta sebagai segitiga yang terdiri dari tiga komponen: keintiman, gairah/nafsu, dan keputusan/komitmen.
• Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap orang lain.
• Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantis dan seksual dalam hubungan.
• Keputusan/komitmen, mencakup dua aspek: Pada tahap awal hubungan, menunjuk pada keputusan untuk menjalin cinta dengan seseorang. Pada tahap lanjut, menunjuk pada tingkat komitmen seseorang untuk terus mencintai orang tersebut.
Menurut Sternberg, perbedaan tipe cinta merupakan hasil dari perbedaan kekuatan dari tiga komponen tersebut di atas. Sebagai contoh:
• Tipe suka (liking), mencakup keintiman yang kuat, tetapi sedikit gairah/nafsu dan komitmen.
• Tipe infatuation, gairah nafsunya paling kuat.
• Tipe empty love, komitmen yang paling kuat.
• Tipe consummate love, memiliki keseimbangan antara keintiman, nafsu, dan keputusan/komitmen. Ini merupakan tipe yang paling ideal dalam hubungan percintaan.
• Tipe romantic love, mencakup keintiman dan nafsu yang kuat, tetapi lemah dalam hal keputusan/komitmen.
Sekarang, Anda sudah bisa mengukur apakah perasaan istimewa terhadap lawan jenis yang membuat tidak enak makan itu sekadar tertarik, suka, atau benar-benar cinta?

Sabtu, 30 Januari 2010

Rabu, 27 Januari 2010